Saturday, September 21, 2024
HomeGaya HidupSiasat Menjegal Trauma Pascabencana - prabowo2024.net

Siasat Menjegal Trauma Pascabencana – prabowo2024.net

Trauma bisa terjadi pada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan mengalami fase tersebut. Pelupi Budi Aristya atau Upi (21 tahun) belakangan ini merasakan waswas. Aktivitas Gunung Merapi, Jawa Tengah yang meningkat, menimbulkan kengerian mendalam baginya, lebih dari orang-orang lain. Ingatan dari masa kecil tentang peristiwa besar pada 2010 silam, mudah memicu ketakutan ketika menemukan lagi momentumnya. Ketika itu, Upi dan keluarganya harus mengungsi menyelamatkan diri dalam suasana yang panik dan mencekam, meninggalkan rumah mereka yang hancur, dalam rangkaian letusan terbesar Merapi di era modern. “Waktu itu saya masih kelas 3 SD. Yang paling membekas ya waktu itu, kejadian sore kita disuruh ngungsi. Alhamdulillah sekeluarga aman semua. Traumanya mungkin lebih karena posisinya panik pasca letusan, mengungsi, dan takut itu keulang lagi,” ungkap Upi kepada Validnews beberapa waktu lalu. Amukan Merapi pada 2010 silam menyebabkan kerusakan masif. Muntahan lava pijar meluluhlantakkan desa-desa di selatan lereng, sepanjang jalur Kali Gendol di Kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY. Di sanalah rumah Upi berada, hancur dan diselimuti abu. Saat ini, setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu, kenangan itu kembali menghantui. Upi telah pindah ke sebuah rumah baru di wilayah Cangkringan yang masih berjarak sekitar 10 km dari Merapi. Meskipun begitu, dia masih merasa cemas dan takut karena aktivitas gunung meningkat dalam beberapa hari terakhir, dan dia merasa panik setiap kali terdengar suara letusan. Apakah Upi mengalami trauma? “Rasa paniknya ada. Takut itu masih ada, cuma ya normal panik ketika ada letusan lagi,” ucap Upi. Rasa takut yang dirasakan Upi mudah dimengerti, mengingat pengalamannya berhadapan dengan peristiwa letusan 12 tahun silam. Bagi Upi, yang penting adalah masih bisa menjalani keseharian dengan normal meski kadang merasakan ketakutan. Upi agaknya adalah contoh yang tepat sebagai penyintas yang mampu pulih dengan baik dari fase stres dan frustasi akibat kejadian luar biasa, seperti letusan gunung berapi. Namun, bagi Aris (27 tahun), penyintas bencana gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, pengalaman trauma ini jauh lebih sulit dan panjang. Ketika tsunami, Aris juga masih kanak-kanak, masih SD. Namun ingatan itu jelas, tentang bagaimana ia dan keluarganya harus berlari ke puncak bukit, dan menyaksikan kota tersapu gelombang tsunami. Aris dan seluruh keluarganya selamat. Namun rumah mereka yang berada tepat di bibir pantai, di Desa Lhok Kruet, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, rata ditelan gelombang. “Waktu itu, kita stres, karena sering lihat mayat tiap hari, dan trauma dengan laut. Sampai SMP, saya masih takut lihat ombak, takut kalau mati lampu, takut ketika ada gempa. Setelah kejadian itu sering gempa-gempa susulan, itu saya terus menangis,” cerita Aris saat dihubungi Validnews, Minggu (12/3). Ketakutan akan gelap, menurut Aris, selain berkorelasi dengan peristiwa gempa dan tsunami, juga turut berbentuk oleh pengalaman hidup dekat dengan wilayah konflik Gerakan Aceh Merdeka. Sementara ketakutan akan laut, sepenuhnya dibentuk oleh pengalaman menyaksikan tsunami tahun 2004 silam. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun bagi Aris untuk pulih dari fase traumatik itu. Salah satu yang membantunya adalah pendampingan psikologis yang ia terima dari berbagai relawan dan pendamping di pemulihan pascatsunami. Ragam kegiatan konseling yang diikuti di sekolah membantu Aris mengatasi ketakutannya akan gelap dan ombak. Saat ini, setelah dewasa, ia mengaku sudah kembali berdamai dengan laut dan mampu melakukan diving dan snorkeling. Hanya saja, masih ada satu gejala traumatik pada Aris yang belum hilang, yaitu ketakutan akan ketinggian. Berada di tempat tinggi dan terbuka, selalu membuatnya merasa terancam. Seketika muncul lagi histeria ketika berada di puncak bukit saat kejadian tsunami, saat di tempat tinggi. “Pas kecil, saya nggak masalah dengan ketinggian. Setelah tsunami, saya takut,” tuturnya. Meski trauma masih membekas, Aris masih bersyukur tetap bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan wajar dan normal.

‘Trauma’ Pascabencana

Trauma, penyingkatan dari Post Traumatic Stress Disorder, bisa terjadi pada setiap korban atau penyintas dari suatu kejadian bencana. Namun, tidak semua penyintas akan mengalami fase tersebut. Kebanyakan penyintas, berkat resiliensi yang baik serta dukungan komunitas, hanya mengalami fase stres sesaat kemudian pulih kembali seiring membaiknya situasi pascabencana. Wahyu Cahyono, seorang praktisi Psikologi Kebencanaan dan pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, menjelaskan bahwa dampak psikologis yang dirasakan setelah kejadian bencana adalah sesuatu yang wajar dan normal dalam situasi yang tidak normal (bencana). Wajar jika korban dalam periode awal setelah bencana merasa linglung, panik, atau terlihat murung, karena itu adalah dampak dari pengalaman luar biasa yang dialami. Terutama jika bencana menyebabkan seseorang kehilangan orang-orang terdekatnya. “Wajar ini untuk berapa lama? Ini terkait juga dengan konteks budaya kita. Orang mengalami kedukaan, kematian, misalnya, biasa ada acara 7 hari, lalu 40 hari. Ya reaksi wajar ada di masa-masa itu. Lewat itu, jika masih dirasakan, sementara situasinya sudah tidak seperti itu, itu yang menjadi gangguan,” urai Wahyu.

Wahyu menekankan bahwa selama ini penyematan istilah trauma, trauma healing pada upaya-upaya pendampingan korban bencana sebenarnya tidak tepat. Pasalnya ada prasyarat tertentu untuk menegakkan diagnosa seseorang mengalami trauma. Salah satunya yaitu bahwa yang bersangkutan mengalami gejala-gejala yang menjurus minimal dalam rentang waktu satu bulan. Jika kejadian bencana baru beberapa hari, secara ilmu kesehatan, tidak ada gejala-gejala yang bisa dikatakan sebagai trauma. “Misalnya, seseorang mengalami kecelakaan, lalu setelah sembuh cukup lama, ketika dengar suara motor dia langsung gemetaran, baru itu trauma,” jelas Wahyu.

Korban bencana mengalami kekagetan karena kehidupan mereka berubah drastis dalam waktu singkat. Mereka kehilangan rutinitas, kehilangan harta benda, bahkan kehilangan anggota keluarga. Dalam keadaan seperti ini, seperti yang dijelaskan dalam Wahyu, setiap orang normal akan merasakan kesedihan yang besar. Pada tahap tersebut, korban memerlukan dukungan psikologis yang dapat berasal dari dalam komunitas atau dari pihak eksternal seperti para relawan yang membantu di lokasi bencana. Dukungan tersebut memiliki peranan penting dalam menentukan apakah seseorang akan dengan cepat beradaptasi dengan keadaan atau malah tenggelam dalam kesedihan dan perasaan sendiri. Dukungan psikologis awal, atau dukungan psikososial, ini diperlukan untuk membantu korban bencana mengelola dampak psikologis yang mereka rasakan akibat bencana. Dukungan ini harus diupayakan dari dalam lingkup komunitas, atau masyarakat yang mengalami bencana itu sendiri.

Membicarakan pendampingan psikologis awal untuk korban bencana di Indonesia tak lengkap kalau tak membicarakan para relawan bencana. Relawan adalah pihak yang menjadi pendukung potensial untuk ‘menyelamatkan’ korban bencana yang sebelumnya tenggelam ke level trauma. Dukungan psikososial ini unik karena berbeda dengan bentuk dukungan pada umumnya yang muncul saat kejadian bencana. Tidak ada sembako, tidak ada obat-obatan, ataupun fasilitas fisik yang diberikan. Akan tetapi, dukungan psikososial tak kalah pentingnya dengan dukungan materi bagi korban bencana. Seperti Upi dan Adi yang diceritakan di awal, yang merasa terbantu berkat dukungan psikologis yang mereka terima ketika bencana, ketika mereka masih kanak-kanak. Salah satu bentuk dukungan psikososial ini adalah bermain dan mengikuti kegiatan pendampingan yang menarik serta edukatif.

Organisasi relawan, seperti Persatuan Islam wilayah Jawa Barat dan Grandma’s Foundation, memberikan dukungan psikososial kepada korban bencana dengan memfasilitasi kegiatan pendampingan yang menarik serta edukatif. Mereka turut membentuk ruang interaksi warga, mengajak warga berdialog tentang perasaan dan aspirasi-aspirasi mereka, bersama psikolog yang memang sudah dipersiapkan. Maraknya kegiatan konseling yang diikuti di sekolah, membantu korban mengatasi ketakutan mereka. Hal ini membuktikan bahwa pendampingan psikologis awal, atau dukungan psikososial, berperan penting dalam membantu korban bencana mengelola dampak psikologis yang mereka rasakan akibat bencana.

Source link

ARTIKEL TERKAIT

paling populer