Saturday, September 21, 2024
HomeprabowoNational Strategic Challenge: Jakarta-Centric Economy

National Strategic Challenge: Jakarta-Centric Economy

Oleh: Prabowo Subianto [dikutip dari buku “Transformasi Strategis Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045”, hal. 89-90, edisi softcover keempat]

Selain koefisien Gini, indikator lain dari disparitas ekonomi di Indonesia adalah distribusi geografis aktivitas ekonomi atau peredaran uang di dalam negeri.

Pada tahun 2020, GDP Indonesia mencapai USD 1,058 triliun, sekitar IDR 15.300 triliun dengan nilai tukar IDR 14.500 per USD.

Menariknya, sekitar 70% dari aktivitas ekonomi ini, yang totalnya mencapai IDR 15.300 triliun, terpusat di Jakarta. Mayoritas sisanya beredar melalui kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, dan Semarang, dengan hanya sejumlah kecil di desa-desa di seluruh Indonesia, terutama terpusat di pulau Jawa.

Saya baru-baru ini meninjau laporan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai simpanan di bank-bank di seluruh Indonesia. Per September 2023, total simpanan mencapai IDR 8.205 triliun.

Menariknya, 52% dari simpanan tersebut berada di cabang-cabang bank di Jakarta, meskipun jumlah penduduk Jakarta hanya 3,9% dari total penduduk Indonesia. Rata-rata simpanan per rekening di Jakarta jauh lebih tinggi, mencapai IDR 402 juta, dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar IDR 29 juta per rekening.

Konsentrasi ekonomi di Jakarta dan di pulau Jawa memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia. Infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta api, dan pasokan listrik relatif kurang memadai di daerah pedesaan dan di luar Jawa.

Sebagai contoh, di kampung halaman saya di Sulawesi Utara, masih umum mengalami pemadaman listrik yang berlangsung 6-12 jam pada tahun 2019.

Salah satu isu yang sangat mendesak dan memerlukan tindakan segera adalah gizi. Di NTT, dua dari tiga anak mengalami stunting akibat kekurangan gizi—eufemisme untuk kelaparan ekstrem.

Di Jakarta, tingkat kekurangan gizi mempengaruhi satu dari tiga anak—sebuah kontras nyata dengan panorama kota yang dipenuhi dengan gedung pencakar langit dan hotel mewah.

Situasi ini sangat mengkhawatirkan karena menunjukkan bahwa satu dari tiga orang Indonesia tidak memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Anak-anak yang kekurangan gizi menghadapi tantangan besar di sekolah dan kemungkinan besar sulit mendapatkan pekerjaan yang membayar dengan baik saat dewasa, memperpanjang siklus kemiskinan.

Source link

ARTIKEL TERKAIT

paling populer