Saturday, September 21, 2024
HomeprabowoLEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS

LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

By: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat menggoyahkan semangat dan membangkitkan semangat rakyat, namun Gubernur Suryo juga merupakan seorang pembicara ulung. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Dia bukan personel militer. Namun dia memahami bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia memahami peran kepemimpinannya: Seorang pemimpin harus bersikap sopan, harus membela kehormatan bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh yang besar bagi generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan sulit dan bagaimana seorang pemimpin bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo adalah bagian integral dari peristiwa pada 10 November 1945. Dia berada di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah paling penting yang pernah dilawan oleh rakyat Indonesia. Ini adalah pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari pemuda dan siswa Madrasah Surabaya, dan Tentara Inggris. Ini adalah peristiwa pahlawan yang sangat heroik dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang sulit diraih.

Pertempuran besar melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, merenggut nyawa lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsi 200.000 warga sipil. Pertempuran besar dan bergolak ini diperingati setiap 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai dengan kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini merupakan puncak dari pertempuran hampir satu minggu antara Brigade yang diperintah oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigadenya menjadi unit tingkat peleton yang menduduki banyak pos terpencil di Surabaya. Pada saat itu, pasukan bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang merupakan kekuatan resmi. Ada yang merupakan sukarelawan. Ada juga yang merupakan geng bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak dapat saling membela satu sama lain karena terlalu tersebar tipis di kota sebesar Surabaya. Brigade itu dihancurkan sebagai kekuatan yang terorganisir. Tindakan ini berujung pada kematian Mallaby. Tentu saja, ini membuat malu Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuh ditangkap, dan pasukan Indonesia dinonaktifkan.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar pelakunya ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Tentara Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dalam kebuntuan.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1949, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan pamflet dari udara agar semua penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum tersebut menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan bahwa semua warga Indonesia yang tidak berwenang membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua perempuan dan anak-anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum tersebut adalah pukul 18.00. Jika perintah tidak dipatuhi, Tentara Inggris bersumpah untuk menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum ini menimbulkan kepanikan di kalangan penduduk Surabaya. Namun kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap memulai perang.

Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya untuk tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian sepenuhnya menyerahkan keputusan tentang bagaimana merespons kepada rakyat Surabaya.

Pada saat yang kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, dengan demikian, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa besar yang bisa bertahan dari serangan militer besar oleh kekuatan asing. Bangsa ksatria ini tidak takut kepada siapapun, termasuk kekuatan super seperti Inggris, untuk membela kedaulatannya. Atau, jika dia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali ke masa menjadi bangsa yang terjajah, bangsa yang terhina, bangsa yang merunduk di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh kekuatan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini hanya Gubernur Suryo yang membuatnya.

Saat waktu batas yang ditetapkan oleh Inggris berakhir, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan bersejarah kepada penduduk Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak berkobar-kobar. Namun, pidatonya yang singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua yang mendengarkannya untuk mengambil senjata membela Surabaya.

Meskipun Bung Tomo diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal dengan orasinya yang membangkitkan, Governor Suryo dengan nada yang tenang namun tegas juga begitu kuat. Pidato Gubernur Suryo berfungsi sebagai ‘teriakan perang’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran sejarah. Kita hanya bisa membayangkan emosi kerasnya saat dia berbicara kepada rakyat Surabaya.

Lebih sulit untuk dipahami, mengingat Gubernur Suryo bahkan bukan prajurit. Namun, dia sepenuhnya memahami perannya sebagai pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk mengambil keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia harapan rakyatnya. Inilah kualitas kepemimpinan besar yang telah ditunjukkannya kepada generasi muda.

KAMI LEBIH MEMILIH DIHANCURKAN DARIPADA DIJAJAH LAGI!

Rekan-rekan,

Pemimpin kami di Jakarta telah berupaya untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Namun sayangnya, semuanya sia-sia. Sekarang adalah tugas kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Semua upaya kita untuk bernegosiasi telah gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan bangsa kita, kita harus tetap mempertahankan dan meneguhkan tekad kita untuk menghadapi segala kemungkinan.

Berulang kali, kami telah menyatakan posisi kami: Kami lebih memilih dihancurkan daripada dijajah kembali. Sekarang, menghadapi ultimatum Inggris, kami akan tetap mempertahankan sikap tersebut. Kami akan tetap teguh menolak ultimatum tersebut.

Menyongsong segala kemungkinan besok, mari kita semua menjaga kesatuan antara pemerintah, rakyat, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), polisi, pemuda, dan organisasi perlawanan di tingkat akar rumput. Marilah kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar kita diberikan kekuatan serta Berkat dan Petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link

ARTIKEL TERKAIT

paling populer