Friday, November 22, 2024
HomeprabowoLEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS

LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [MAJOR GENERAL TNI (RET.) SUHARIO PADMODIWIRYO (HARIO KECIK)]

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Saya sangat terkesan dengan kehidupan Hario Kecik. Saya bermimpi untuk menjadikan kisah hidupnya menjadi film box-office suatu hari nanti, terutama perannya dalam Pertempuran Surabaya.

Saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang pendidikan militer bisa memiliki keberanian untuk melawan pemenang Perang Dunia II.

Jenis keberanian seperti itu memungkinkan kami melewati ujian pertama kemerdekaan kami dan mengubah kami menjadi sebuah bangsa. Pertempuran Surabaya mungkin adalah ujian tersulit yang datang setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah Gubernur Suryo dan Bung Tomo, saya ingin memberitahu Anda tentang Hario Kecik. Setelah membaca buku hariannya pada tahun 2015, Memori Hario Kecik: Otobiografi Seorang Mahasiswa Angkatan Darat, saya sangat terkesan dengan kisah hidupnya.

Beliau adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tidak mengerti politik namun akhirnya menjadi seorang pejuang. Beliau adalah salah satu tokoh utama dalam Pertempuran Surabaya. Beliau merupakan bagian dari Tentara Pelajar Indonesia (TRIP) dan menjadi komandan Korps Mahasiswa Jawa Timur (CMDT).

Kisah Hario Kecik sangat menarik. Saya sangat mendorong setiap pemuda Indonesia untuk membaca memoarnya. Terutama mengenai perannya sebagai seorang mahasiswa, kemudian mahasiswa kedokteran, seorang pejuang, dan akhirnya seorang perwira TNI berpangkat tinggi.

Beliau sempat dicurigai oleh rekan-rekannya dalam hidupnya, terutama oleh rezim Orde Baru. Mungkin karena pandangannya yang cenderung kiri; karena jiwa populisnya, dibentuk oleh pengalamannya dalam perjuangan awal untuk kemerdekaan Indonesia, terutama dalam Pertempuran 10 November di Surabaya.

Sebagai seorang pejuang muda, teman-temannya memilih Hario sebagai komandan mereka karena beliau pandai di sekolah dan fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Beliau melawan Pasukan Sekutu dalam momen-momen kritis dan penentu, dari bulan Oktober hingga November 1945.

Beliau memimpin hanya beberapa puluh orang namun terlibat dalam peristiwa dramatis dalam Pertempuran Surabaya, yang merupakan pertempuran paling sengit dan berdarah yang pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, arek-arek Suroboyo, termasuk Hario Kecik, merebut senjata-senjata Jepang, senapan, pistol, senjata mesin, dan meriam. Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu cara mengoperasikan meriam-meriam itu. Namun, kami tahu bahwa banyak tentara Jepang yang membantu mereka. Beberapa tentara Jepang meninggalkan pasukannya dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan.

Mereka adalah mereka yang membantu melatih pemuda-pemuda kita dalam menggunakan senjata-senjata seperti SMR, SMG, dan meriam. Juga, meriam-meriam anti-pesawat. Semuanya dijelaskan dalam memoar Hario Kecik.

Pada tanggal 1 Oktober 1945, beliau menulis bahwa sekelompok orang dan tentara dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) mengepung markas Kempeitai (polisi militer Jepang) di Surabaya. Mereka bermaksud merebut senjata-senjata Jepang.

Hario menggambarkan kondisi saat itu:

Pada saat itu, saya sepenuhnya sadar bahwa saya adalah seorang yang tidak dikenal, hanya salah satu prajurit di antara massa yang besar dan berani. Tidak ada komandan atau pemimpin. Hanya ada niatan untuk maju bersama untuk mengalahkan musuh. Kami semua adalah pemuda-pemuda dari desa. Pakaian kami hanya menunjukkan betapa miskinnya kami.

Setelah merebut senjata-senjata tersebut, Hario Kecik mendirikan Korps Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), leluhur dari korps Polisi Militer TNI.

Peristiwa 10 November 1945, yang dimulai dari minggu ketiga dan keempat bulan Oktober 1945, merupakan ujian bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Betul, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, diproklamasikan di Jakarta. Namun, Pasukan Sekutu menguji ketahanan proklamasi tersebut di Surabaya dalam Pertempuran Surabaya. Ujian itu menguji apakah rakyat Indonesia secara penuh mendukung proklamasi kemerdekaan.

Dalam pertempuran 10 November 1945, setidaknya 30.000 orang Indonesia tewas. Diperkirakan lebih dari 5.000 tentara Inggris tewas dan terluka.

Kami memiliki 30.000 korban utamanya karena superioritas Pasukan Inggris dalam persenjataan modern. Pasukan Inggris mengirim lebih dari satu divisi, yang berjumlah sekitar 35.000 orang. Mereka didukung oleh kapal induk, pesawat tempur, kapal penjelajah, dan meriam. Anda bisa membayangkan kekuatan mereka dan keunggulan kekuatan mereka dibandingkan dengan orang Indonesia, arek-arek Suroboyo.

Jika kita mempelajari sejarah peristiwa tersebut, kita akan melihat bahwa semua pihak di sisi Indonesia bersatu. Para pemuda bersatu dengan rakyat jelata, tukang becak, petani. Semua bersatu. Mereka merebut senjata-senjata dari pasukan Jepang dan mengorganisir diri dalam unit-unit perlawanan. Beberapa telah bergabung dalam batalion-batalion yang akhirnya membentuk TNI. Beberapa pasukan membentuk inti TNI pada tanggal 5 Oktober dengan nama TRI (Tentara Republik Indonesia). Jadi, beberapa pasukan telah mengorganisir diri mereka menjadi batalion-batalion resmi. Mereka adalah batalion-batalion mantan PETA. PETA adalah tentara sukarelawan yang diselenggarakan oleh Jepang, singkatan dari ‘Pembela Tanah Air’.

Ada juga Polisi Negara Republik Indonesia. Ada pula barisan pemuda, pasukan-pasukan dari masyarakat berbagai komunitas. Beberapa terdiri dari murid-murid madrasah di Surabaya dan dari seluruh Jawa Timur. Ada juga kelompok-kelompok yang terdiri dari mahasiswa, termasuk Hario Kecik dan rekannya. Sangat menarik untuk mempelajari dinamika kelompok pada saat itu.

Kembali pada Hario, saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang militer bisa memiliki keberanian untuk melawan pemenang Perang Dunia II. Dalam memoarnya, menjelang serangan 10 November, Hario menulis:

Kami siap menghadapi apapun yang musuh tawarkan. Kami bukan ahli militer atau tentara profesional. Kami hanya ingin tetap merdeka.

Kami mengambil keputusan dan tekad yang disebutkan sebelumnya dalam suasana yang sulit untuk dijelaskan. Saya tidak bisa dengan mudah menjelaskan ketegangan, optimisme, semangat, semangat, kemarahan mentah di hati para pemuda yang berkumpul di tempat hanya dengan kata-kata.

Pada saat itu, saya juga terbawa oleh suasana itu. Semuanya dimulai saat saya bersama para pemuda, menggali parit pertahanan di halaman markas kami di Pasar Besar, ketika kami mendengar kapal-kapal perang Inggris tiba di perairan Tanjung Perak [pelabuhan Surabaya].

Pikiran rasional saya, atau tepatnya, ‘pikiran intelektual’ saya, mengatakan bahwa markas kami sulit untuk dipertahankan dari serangan musuh karena lokasinya, benteng yang lemah, dan faktor-faktor lainnya. Tapi pemuda-pemuda itu bertekad untuk mempertahankan markas hingga kelelahan.

Akhirnya, setelah ‘pikiran intelektual’ saya tunduk pada ‘emosi’ atau ‘semangat’ saya, saya setuju dengan mereka. Kami hanya punya beberapa jam untuk bersiap-siap.

Malam itu kami tidak membahas garis komando, logistik, dsb. Kami sudah siap, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang ragu sedikit pun.

Kami menyaring strategi-strategi rumit menjadi motto tunggal: Merdeka atau mati. Tidak seorang pun mempertanyakan kekuatan musuh, dan tidak ada yang mempertanyakan kekuatan kami. Mungkin secara bawah sadar, kami semua dengan cepat memutuskan bahwa sudah terlambat untuk khawatir tentang itu. Kami harus bertempur melawan musuh keesokan harinya bagaimanapun juga.

Membaca memoar ini membuat saya merinding. Demikianlah semangat yang memungkinkan kami mempertahankan kemerdekaan kami. Demikianlah semangat yang memungkinkan kami melewati ujian pertama kemerdekaan kami dan menggabungkan kami menjadi sebuah bangsa. Itu mungkin adalah ujian pascakemerdekaan yang tersulit.

Selalu saya bayangkan bagaimana jika saya bisa berada di Surabaya pada saat itu. Apakah saya akan seberani Hario Kecik? Apakah saya akan sebersemangat Hario Kecik dan rekannya? Itu adalah beberapa pertanyaan yang selalu saya ajukan pada diri saya sendiri.

Karena itu, setiap kali saya memberikan ceramah atau melatih generasi muda, saya selalu menggunakan Hario Kecik sebagai ikon dari pemuda Indonesia yang teladan.

Pahlawanisme yang diwakili oleh Hario Kecik sangat jelas. Beliau menetapkan contoh bagi generasi berikutnya, contoh bagi setiap orang Indonesia.

Source link

ARTIKEL TERKAIT

paling populer