Liputan6.com, Jakarta – Saya dan tim berkunjung ke Manila pada awal Desember 2024 ini, berkaitan dengan proyek “Airborne Infection Defence Platform (AIDP)”. Ini merupakan suatu proyek kerjasama ASEAN dan pemerintah Amerika Serikat.
AIDP memiliki dua kegiatan utama, pertama memperkuat program Tuberkulosis (TB) di negara-negara ASEAN, dan kedua bahwa penguatan program TB ini juga akan amat diperlukan untuk kesiapan dan respon menghadapi kemungkinan pandemi mendatang yang akan dalam bentuk penularan infeksi melalui udara (airborne infection).
Kami, antara lain mengunjungi salah satu Puskesmas di Ibukota Filipina, yaitu Puskesmas Dagupan di Kota Manila. Ternyata semua pasien yang datang ke semua Puskesmas di Manila, apapun sakit dan keluhannya, maka di kertas catatan rekam mediknya dibubuhi cap merah.
Isi cap merah itu adalah empat pertanyaan; apakah pasien ini punya gejala ke arah tuberkulosis (TB), yaitu batuk, demam dan berat badan yang tidak jelas penyebabnya dan juga ada tidaknya keringat malam. Lalu di bawahnya ada pertanyaan apakah gejala-gejala itu sudah berlangsung selama dua minggu atau tidak. Kalau sudah kebih dari 2 minggu, maka tentu mengarah ke kemungkinan tuberkulosis.
Juga ada lima pertanyaan faktor risiko ke arah TB. Pertama tentang riwayat penyakit TB terdahulu, kedua adakah kontak erat dengan pasien TB, ketiga mencakup ada tidaknya empat penyakit yaitu Diabetes Mellitus, Kanker, Penyakit Ginjal lanjut, dan HIV/AIDS. Faktor risiko keempat yang juga ada ditanyakan adalah apakah berusia lebih 60 tahun; dan kelima apakah masuk dalam kelompok ekonomi terendah (poorest of the poor). Kalau ada faktor risiko yang sesuai maka akan makin memperkuat kemungkinan pasiennya dicurigai TB, bila ada gejala yang sesuai.