Rifqy pun bercerita, hidup masyarakat Desa Batu Songgan di Riau sangat bergantung pada hutan dan sungai dengan pemanfaatan yang terbatas.
Untuk menjaga ekosistem dua kawasan tersebut, mereka mempunyai aturan adat, yaitu hutan larangan dan lubuk larangan.
“Saat hutan larangan diberlakukan, selama beberapa waktu, masyarakat tidak boleh mengakses suatu kawasan hutan tertentu. Ketika area itu dibuka kembali, barulah mereka bisa memanen hasil hutan bersama-sama.”
Hal serupa diberlakukan di area Sungai Subayang. Sungai tersebut diberi pembatas jaring yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun. Aturan ini diterapkan untuk menjaga ikan kecil, sehingga mereka bisa terus bertumbuh. Saat panen raya, kepala kampung akan membuka larangan tersebut dengan upacara adat, dan masyarakat boleh mengambil hasil sungai.
Menariknya, Suku Moi juga mempunyai aturan serupa. Namanya egek. “Tradisi egek membatasi akses masyarakat untuk masuk kawasan hutan. Di dalam hutan terdapat sejumlah situs bersejarah dan pohon keramat. Untuk ekowisata, jalurnya dibuat di luar jalur-jalur egek. Egek di hutan akan dibuka saat waktunya tiba. Ketika itu, masyarakat boleh memanen hasil hutan,” kata Rifqy.
Egek juga diterapkan di laut. Para kepala kampung menentukan satu kawasan khusus di laut yang tidak boleh diakses oleh masyarakat. Selama egek diberlakukan, ada tiga hasil laut yang tidak boleh diambil, yaitu lobster, lola (kerang laut), dan teripang. Hasil laut lain, seperti berbagai macam ikan, tetap boleh diambil untuk kebutuhan sehari-hari.