Mengenai hal ini, Rasulullah pernah bersabda bahwa seseorang yang tidak memiliki kemampuan dalam bidang medis tapi berani melakukan pengobatan, maka harus bersiap dengan risiko atas perbuatannya. Beliau bersabda:
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ
Artinya: “Siapa saja yang membuka praktik tabib (pengobatan/kedokteran), padahal tidak memiliki riwayat dan rekam jejak keilmuan medis, maka harus menanggung akibatnya,” (HR. Abu Dawud).
Hadits ini menjadi dasar penting untuk mengkritik praktik klinik kecantikan abal-abal. Penipu yang mengklaim keahlian tanpa melalui standarisasi sesuai ketetapan otoritas medis, dalam fiqih dikategorikan sebagai tindakan ta’addi (pelanggaran), dan jika menyebabkan kerusakan fisik atau jiwa, maka pelaku wajib menanggung ganti rugi (dhaman).
Dalam tinjauan hukum positif Indonesia, praktik klinik kecantikan abal-abal dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap beberapa ketentuan hukum. Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mencakup ketentuan yang melarang praktik klinik abal-abal.
Pasal 203 ayat 3 menegaskan bahwa tenaga medis harus memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai dengan peraturan. Sedangkan Pasal 441 mengatur sanksi pidana bagi individu yang memberikan layanan kesehatan tanpa izin resmi, dengan hukuman penjara hingga lima tahun atau denda maksimal Rp500 juta.