Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, mengingatkan pemerintah akan dampak besar dari kasus mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurutnya, kerugian akibat BLBI yang mencapai ribuan triliun rupiah akan terus membayangi masyarakat Indonesia hingga tahun 2043. Hardjuno menekankan bahwa bukan hanya jumlah kerugian yang menjadi perhatian, tetapi juga dampak bunga yang terus meningkat secara eksponensial. Hal ini berakibat pada tekanan yang luar biasa terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ia menjelaskan bahwa skandal BLBI merupakan contoh di mana kreditur seharusnya menjadi debitur yang membayar kepada debitur lain. Hal ini memperlihatkan pelajaran pahit tentang bagaimana hukum dan keadilan ekonomi bisa dimainkan oleh pihak yang berwenang. Hardjuno juga menyoroti peran oknum pejabat dalam skandal BLBI yang menyebabkan kasus ini terus berlangsung selama puluhan tahun. Sistem bunga majemuk pada Obligasi Rekapitalisasi (OR) BLBI juga turut menciptakan beban keuangan yang besar.
Menurut Hardjuno, dana yang seharusnya dikembalikan oleh para debitur justru disubsidi hingga tahun 2043, sehingga debitur malah diuntungkan dengan pembagian dividen. Ia juga menekankan bahwa hanya Presiden bersama DPR yang memiliki wewenang untuk menghapus utang seperti ini. Dengan utang yang sudah mencapai Rp8.500 triliun, angka tersebut diperkirakan bisa meningkat hingga Rp12.000 triliun jika ada praktik penyembunyian utang, termasuk burden sharing dengan Bank Indonesia yang belum masuk perhitungan. Kritik dan peringatan keras ini diungkapkan oleh Hardjuno untuk mengingatkan pemerintah dan masyarakat akan dampak jangka panjang dari korupsi BLBI.