Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Tjandra menemukan bahwa mutasi pada posisi 445 dari virus COVID-19 dapat meningkatkan kemampuannya untuk terikat dengan reseptor ACE2 manusia, sehingga lebih mudah menular. Hal ini memberikan penjelasan mengenai peningkatan kasus COVID-19 yang terjadi di beberapa negara. Selain itu, mutasi pada posisi 435 dan 478 juga berkontribusi terhadap kemampuan virus untuk menghindari sistem kekebalan tubuh. Mutasi 435 diketahui dapat menurunkan efektivitas antibodi, sementara mutasi 478 memungkinkan virus untuk menghindari antibodi yang dapat mengurangi efektivitas perlindungan dari vaksin atau infeksi sebelumnya.
Pada 18 Mei 2025, terdapat 518 sekuens dari varian Nimbus NB.1.8.1 yang dilaporkan ke database GISAID oleh 22 negara. Varian ini telah menyumbang sebesar 10,7 persen dari data global pada pekan epidemiologi ke-17, meningkat tajam dari 2,5 persen dalam waktu empat minggu sebelumnya. Trend penyebaran varian ini terjadi secara merata di Asia, Eropa, dan Amerika, sehingga Prof. Tjandra menyarankan Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan melalui surveilans genomik yang lebih aktif.
Prof. Tjandra merekomendasikan agar pemerintah menerapkan tes COVID-19 untuk semua kasus Severe Acute Respiratory Illness (SARI) yang dirawat di rumah sakit, serta setidaknya 5 persen dari kasus Influenza-Like Illness (ILI). Semua hasil positif dari kasus SARI juga perlu dikirim untuk Whole Genome Sequencing (WGS) di laboratorium rujukan guna memonitor dan mengidentifikasi perkembangan varian virus dengan lebih akurat.