Pada tahun 1755, Perjanjian Giyanti terjadi dan menjadi tonggak penting dalam sejarah pembentukan Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di Jawa. Perjanjian ini menandai berakhirnya Kesultanan Mataram Islam dan pembentukan dua kerajaan yang berdiri hingga sekarang. Konflik di Mataram dimulai dari persaingan antara anggota keluarga kerajaan, yang kemudian disulut oleh campur tangan VOC Belanda. Setelah berbagai konflik, pada tahun 1755, Perjanjian Giyanti akhirnya ditandatangani, membagi Mataram menjadi dua kerajaan: Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Perjanjian ini tidak langsung mengakhiri konflik, karena salah satu anggota keluarga kerajaan, Raden Mas Said, kemudian menandatangani Perjanjian Salatiga dan mendirikan Kadipaten Mangkunegaran. Selain itu, pertemuan antara Sultan Hamengkubuwana I dan Pakubuwana III di Lebak, Jatisari juga membahas budaya masing-masing kerajaan, yang kemudian memunculkan Kesultanan Yogyakarta. Pembangunan Keraton Yogyakarta dimulai pada tahun 1755 dan menjadi simbol era baru bagi kesultanan tersebut.
Sebagai penghargaan atas Perjanjian Giyanti, didirikan Monumen Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah. Monumen ini menjadi simbol perpecahan Mataram dan kelahiran dua kerajaan besar di Jawa, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Sejarah panjang dan kompleks pembentukan dua kerajaan ini tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya Jawa hingga saat ini.