Generasi Z yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an semakin menunjukkan kecenderungan untuk lebih memilih chatting dibanding melakukan panggilan telepon. Hal ini terlihat dalam aktivitas komunikasi sehari-hari di berbagai platform digital. Berbagai survei dan kajian terbaru mengungkap beberapa alasan di balik perilaku ini. Pertama, faktor efisiensi waktu, kenyamanan dalam menyampaikan pesan, dan keinginan menjaga privasi membuat chatting lebih diminati dibandingkan berbicara langsung lewat telepon.
Generasi Z tumbuh di era digital di mana pesan instan seperti WhatsApp dan Instagram menjadi sarana komunikasi utama. Melalui platform berbasis teks, mereka memiliki kontrol lebih dalam menyusun pesan, mengedit, serta menghindari kesalahan. Hal ini membuat chatting terasa lebih santai dan mudah dibandingkan telefon. Selain itu, telepon juga sering kali memicu kecemasan, komunikasi yang mengganggu, serta dianggap tidak fleksibel.
Sebagian besar Gen Z menilai chatting lebih efisien dan fleksibel karena mereka bisa membalas pesan sesuai kenyamanan dan waktu mereka tanpa tekanan seperti saat menerima telepon. Pesan teks dianggap lebih santai tanpa basa-basi, dan chat juga memungkinkan pengguna untuk mengekspresikan diri melalui emoji, GIF, atau meme. Meskipun demikian, chatting juga memiliki kelemahan, terutama dalam komunikasi lintas perangkat yang bisa menimbulkan miskomunikasi.
Untuk menyesuaikan gaya komunikasi dengan Gen Z, disarankan untuk menggunakan chat untuk hal-hal ringan, logistik, atau sekadar menyambung komunikasi. Sementara untuk obrolan emosional atau kompleks, lebih baik menggunakan telepon atau bertemu langsung. Dengan begitu, fenomena ini sebenarnya merupakan bentuk adaptasi dan kehati-hatian dalam berkomunikasi dengan generasi Z. Menyadari dan menghargai preferensi mereka dalam berinteraksi akan membantu dalam membangun hubungan yang lebih baik.
