Home prabowo National Strategic Challenge: Economic Injustice

National Strategic Challenge: Economic Injustice

0

Oleh: Prabowo Subianto [dikutip dari “Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045”, hal. 77-81, edisi paperback ke-4]

Masalah utama yang dihadapi oleh ekonomi kita saat ini—aliran keluar kekayaan Indonesia—terkait erat dengan kondisi yang dapat kita sebut sebagai ketidakadilan ekonomi. Ketidakadilan ini adalah salah satu alasan utama mengapa banyak rakyat kita hidup dalam kemiskinan dan kesulitan.

Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, koefisien Gini untuk pendapatan di Indonesia pada tahun 2020 adalah 0,38, yang menunjukkan bahwa 1% terkaya mendapatkan 38% dari pendapatan. Sebuah studi tahun 2021 oleh Credit Suisse menemukan bahwa koefisien Gini kekayaan di Indonesia adalah 0,36, artinya 1% terkaya menguasai 36% dari kekayaan.

Koefisien Gini sebesar 0,36 menunjukkan ketimpangan yang substansial, tingkat yang tidak hanya tinggi namun juga berpotensi berbahaya. Ketimpangan ekonomi seperti ini, jika tidak diatasi, bisa memicu konflik sosial, kerusuhan, atau bahkan perang saudara yang berkepanjangan.

Koefisien Gini adalah indikator utama ketimpangan kekayaan dalam suatu negara. Sebuah koefisien Gini ekonomi sebesar 0,36 mengimplikasikan bahwa 1% populasi terkaya Indonesia memiliki 36% dari kekayaan negara.

Jika populasi Indonesia adalah 270 juta, ini berarti 36% dari kekayaan negara dimiliki oleh hanya 2,7 juta orang. Sisanya, sebanyak 64%, dibagi di antara 267,3 juta orang.

Perhitungan terbaru menunjukkan bahwa kekayaan bersama dari empat orang terkaya Indonesia melebihi kekayaan 100 juta orang termiskin.

Koefisien Gini untuk kepemilikan tanah bahkan lebih mengkhawatirkan. Hal ini terutama menarik perhatian saya karena kekayaan sejati terletak pada kepemilikan tanah.

Data yang dirilis oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2020 menunjukkan koefisien Gini kepemilikan tanah sebesar 0,67, yang berarti 1% orang terkaya di Indonesia, sekitar 2,6 juta orang, memiliki 67% dari tanah di Indonesia. Angka ini telah membaik belakangan ini karena pemerintah secara aktif mendistribusikan sertifikat tanah.

Tanyakan kepada keluarga dan teman Anda: Siapa di antara mereka yang memiliki tanah? Apakah Anda sendiri memiliki tanah, atau apakah Anda menyewa tempat tinggal Anda? Apakah petani kita masih memiliki tanah mereka? Jika iya, berapa ukuran rata-rata tanah mereka? Apakah telah bertambah atau berkurang selama 10, 20, atau 30 tahun terakhir?

Menurut data tahun 2020 dari Kementerian Pertanian, ada 35 juta petani di Indonesia.

Namun, lebih dari 75% dari petani ini, lebih dari 28 juta, tidak memiliki tanah. Hanya 9 juta petani yang memiliki tanah, dan bahkan itu, lahan mereka kecil.

Saat ini, lebih dari 76% penduduk Indonesia memiliki akses internet. Mengingat bahwa banyak dari 1% terkaya memamerkan kekayaan mereka di media sosial, ini berarti bahwa lebih dari tiga perempat dari populasi kita dapat langsung melihat ketimpangan kekayaan yang ada di Indonesia.

Saat banyak warga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, dan sebagian bahkan diusir dari rumah mereka, mereka dapat dengan mudah melihat bagaimana sekelompok kecil elit di Indonesia hidup mewah.

Ketika membahas ketidaksetaraan, saya ingin mengacu pada sebuah buku karya Niall Ferguson berjudul “The Great Degeneration.”

Ditulis sebelum pandemi COVID-19, Ferguson mewawancarai seribu pemimpin ekonomi dan CEO dari perusahaan-perusahaan global utama. Dia bertanya kepada mereka, “Apa menurut Anda ancaman terbesar terhadap ekonomi global, terutama di pasar-pasar yang berkembang?”

Seribu pemimpin ekonomi merespons pertanyaan Niall Ferguson dengan menyoroti beberapa ancaman:

Inflasi
Meledaknya gelembung aset
Korupsi
Radikalisasi
Bencana alam
Pandemi penyakit, seperti SARS

Sebagai contoh, ketidakstabilan politik yang teramati di Myanmar dan Afghanistan secara nyata telah menghambat pertumbuhan ekonomi. Begitu pula, ketidakpastian politik umumnya dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan ekonomi.

Niall Ferguson, seorang sejarawan, tidak hanya mencari pandangan para ahli ekonomi tetapi juga mengonsultasikan para sejarawan.

Para sejarawan ini menyatakan, “Jika semua faktor yang disebutkan hadir, terutama jika mayoritas populasi adalah muda (berusia 18-30 tahun) dan harga makanan naik, ancaman ini bisa eskalasi menjadi revolusi, kekacauan sosial, atau perang saudara.”

Ferguson mencatat, ‘Hal ini saat ini sedang terjadi di Timur Tengah.’ Dia mengaitkan Musim Semi Arab kepada kondisi-kondisi tersebut. Ketidakstabilan di Timur Tengah telah dipicu oleh faktor-faktor ini.

Kita harus bertanya kepada diri sendiri: Apakah elemen-elemen ini hadir di Indonesia hari ini?

Pertimbangkan ini: jika setiap desa memiliki 10 pemuda putus sekolah berusia 15-22 tahun, dan dengan 80.000 desa, jumlah itu mencapai 800.000 orang muda yang tidak yakin akan masa depan mereka. Mereka menyaksikan orang tua mereka berjuang; beberapa mengumpulkan kayu atau memotong rumput untuk membantu tetapi mendapatkan penghasilan yang sangat sedikit. Pada usia yang penuh potensi ini, mereka kekurangan tujuan dan harapan. Kehidupan tanpa harapan rentan—mereka rentan dieksploitasi oleh mereka yang bermaksud jahat.

Inilah mengapa saya menekankan pentingnya kewaspadaan.

Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa kerusuhan, revolusi, dan perang saudara dapat dipicu oleh beberapa faktor:

Inflasi
Kenaikan harga makanan
Lonjakan populasi
Peningkatan pengangguran
Ketimpangan pendapatan
Radikalisme ideologis
Korupsi

Hampir semua kondisi ini hadir di Indonesia hari ini. Dengan koefisien Gini sebesar 0,36, katalis yang tepat bisa menjatuhkan negara ke dalam kekacauan berkepanjangan. Kita harus tetap waspada.

Source link

Exit mobile version