Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi industri nikel hingga 81 persen pada tahun 2045 tercermin dalam Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel Nasional. Peluncuran peta jalan ini merupakan bagian dari upaya nyata untuk mendukung transisi energi berkelanjutan dan pembangunan rendah karbon. Sebagai produsen nikel terbesar di dunia dengan potensi besar, Indonesia berperan penting dalam mendorong hilirisasi nikel yang rendah emisi dan berdaya saing tinggi.
Peta jalan ini tidak hanya mengarah pada pengurangan emisi industri nikel, tetapi juga dirancang untuk menjadi masukan strategis dalam RPJMN 2025–2029 dan sesuai dengan target RPJPN 2025–2045. Dengan melibatkan kolaborasi multi pihak, termasuk perusahaan tambang dan smelter nikel, kementerian/lembaga, dan akademisi, peta jalan ini mencakup empat strategi utama: efisiensi energi dan material, penggantian bahan bakar, substitusi material, dan penggunaan listrik rendah karbon.
Strategi penggunaan listrik rendah karbon menjadi prioritas karena sumber emisi terbesar industri nikel berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap captive. Dengan memanfaatkan energi baru dan terbarukan, seperti surya, angin, air, biomassa, dan hidrogen hijau, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada batu bara dan menjadi pemimpin global dalam menghasilkan nikel yang rendah emisi dan bertanggung jawab.
Analisis WRI Indonesia menunjukkan bahwa emisi industri nikel dapat meningkat hingga 86 persen pada 2045 tanpa intervensi. Oleh karena itu, Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel Nasional juga merekomendasikan pembangunan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan serta penguatan infrastruktur yang mendukung penggunaan energi bersih dan emisi gas rumah kaca dalam proses produksi. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mencapai komitmen Net Zero Emissions sebelum 2060.